*Oleh: Zaskia Talita Sasikirani
Indonesia sebagai satu bangsa lahir dari perjuangan panjang para pahlawan yang tidak hanya mencurahkan tenaga dan pikiran, tetapi juga sedia mengorbankan nyawanya. Dahulu, wilayah ini silih berganti dijajah dan dijarah negara-negara Eropa, serta Asia (Jepang), saat kejayaan kerajaan-kerajaan di Nusantara mulai meredup.
Era itu bisa dibilang masa terkelam bagi penduduk pribumi. Mereka dianggap separuh manusia sehingga layak ditindas dan diperas tenaganya untuk kepentingan bangsa penjajah. Tak ayal, pertempuran untuk mengusir penjajah merebak di mana-mana, di Jawa, Sumatera, Bali, dan seterusnya.
Tonggok utama dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia terjadi pada 28 Oktober 1928. Kongres Pemuda II di Batavia (Jakarta) pada waktu itu menegaskan cita-cita berdirinya Negara Indonesia yang dikenal dengan peristiwa “Sumpah Pemuda”.
Cita-cita tersebut akhirnya terwujud pada 17 Agustus 1945 yang ditandai dengan pembacaan proklamasi kemerdekaan Indonesia oleh Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta. Sejak saat itu Indonesia dinyatakan sebagai bangsa yang merdeka, terbebas dari segala bentuk penjajahan.
Tentunya bukan hal yang mudah bagi para pendahulu kita dalam memerdekakan bangsa ini. Maka sudah seharusnya kita sebagai generasi muda menjaga bangsa ini agar tetap utuh.
Penjajahan di era digital
Kini, zaman telah memasuki era teknologi di mana semuanya menjadi serba digital. Bisa kita lihat hampir semua orang, khususnya para pelajar memiliki smartphone. Produk cangih ini merupakan kemajuan zaman yang mempermudah kita dalam berkomunikasi, mencari berbagai informasi, dan lain sebagainya.
Tentu saja, dengan adanya smartphone, kehidupan yang dulunya masih serba tradisional-manual, kini makin modern, mudah, dan praktis. Bisa kita bandingkan kehidupan kita saat ini dengan zaman dahulu yang untuk berkomunikasi jarak jauh saja harus melalui surat dan membutuhkan waktu berhari-hari agar pesan sampai kepada penerima.
Berbeda sekali dengan zaman sekarang, dengan mengetik pesan lewat smartphone pesan dapat terkirim dengan cepat hanya dalam hitungan detik.
Selain itu, munculnya media sosial juga makin mempermudah masyarakat dalam mencari informasi dan mengekspresikan pendapatnya di ruang publik dengan jalinan pertemanan yang tak terbatas.
Dalam hal penguasaan bahasa, dulu masyarakat Indonesia sangat kesulitan berkomunikasi dengan warga asing karena terbatasnya fasilitas untuk mempelajari bahasa asing. Kini, hal tersebut makin mudah karena kita dapat menerjemahkan bahasa asing dan mempelajarinya melalui jaringan internet.
Namun, di samping hal-hal positif tersebut ada pula dampak negatif dari zaman teknologi ini. Tak jarang kita menemukan berita bohong atau hoaks dan ujaran kebencian yang tersebar di berbagai laman website serta platform media sosial mulai dari Facebook, Twitter, hingga Instagram.
Fenomena tersebut sangat mengawatirkan karena mengancam persatuan bangsa yang diwariskan oleh para pahlawan. Dampak tersebut mulai terlihat dari menguatkannya semangat primordialisme dan intoleransi yang merebak di mana-mana.
Selain itu, identitas banngsa Indonesia juga terus terkikis seiring dengan gempuran budaya asing yang kurang sesuai dengan moral Pancasila.
Tanpa kita sadari, semua dampak negatif tersebut sebetulnya merupakan bentuk penjajahan. Saat ini penjajahan bukan lagi berbentuk peperangan fisik, melainkan penjajahan terhadap moral dan perilaku kita. Coba bayangkan jika semua orang tak memiliki moral dan etika yang baik, tentu saja bangsa ini akan menjadi bangsa yang hancur dan tidak akan pernah maju.
Menghidupakan JSN 45
Potensi buruk dari perubahan zaman yang muncul dari perkembangan teknologi sudah semestinya harus dibendung, utamanya di kalangan pelajar yang menjadi masa depan bangsa Indonesia.
Salah satu cara yang bisa digunakan, yakni dengan mengimplementasikan konsep Jasa, Semangat, Nilai-nilai 1945 (JSN 45) yang diwariskan oleh para pendiri bangsa. Anti dan menolak penjajahan serta mempertahankan NKRI adalah salah satu cara kita mengamalkan nilai operasional JSN 45.
Jika dulu adalah penjajahan secara fisik maka sekarang kita harus yakin dapat melawan penjajahan teknologi yang menyebabkan degradasi moral serta perpecahan. Berbagai cara dapat kita lakukan seperti dengan bijak bermain smartphone, pintar dalam menyaring informasi, dan yang paling utama, kita dapat membedakan hal-hal yang sesuai dan bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila
Penerapan itu wajib ditanamkan dalam diri setiap orang, khususnya bagi para pelajar. Tentu saja sekolah harus bisa menjadi garda terdepan untuk memberi pengarahan terhadap siswa-siswinya dalam beretika dan berperilaku. Pengarahan tersebut bisa berupa imbaun untuk membiasakan 5S (Salam, Sapa, Senyum, Sopan, dan Santun) kepada siapa pun.
Lalu dalam penggunaan teknologi, sekolah bisa membuat peraturan ketat agar siswa mematikan smartphone saat pembelajaran berlangsung. Mungkin hal itu bukan salah satu cara yang efektif, tetapi setidaknya cara itu dapat mengurangi dan menghindari risiko terjadinya penyalahgunaan smartphone bagi siswa.
Di samping cara-cara tersebut, diharapkan sekolah mengadakan kegiatan sosialisasi tentang pentingnya memiliki sopan santun dalam berperilaku, cara-cara menghargai orang di sekitar, dan juga memberikan sosialisasi terkait penggunaan smartphone dengan bijak beserta dampak-dampaknya.
Cara-cara tersebut apabila diterapkan dengan konsisten dan berkesinambungan tentu saja mampu membuat siswa sadar dan mengamalkan nilai anti-penjajah dan penjajahan sesuai nilai operasional JSN 45.
Ayo, semangat memperbaiki diri dan membebaskan diri dari penjajahan masa kini. Bangsa yang besar adalah bangsa yang tumbuh dari generasi penerus yang mempunyai semangat besar.